up text

Aku perlu belajar Maka aku membaca

Aku ingin tetap belajar Maka aku kembali menyimak

Aku ingin terus belajar Maka aku pun menulis




Yang tidak berniat menggurui, karena semua adalah guru

Yang berniat berguru, pada siapa dan apapun itu

Yang pantas dan perlu, digugu dan ditiru

Kamis, 07 Agustus 2008

Minggu, 29 Juni 2008


Test 0


Test 1






Test 2




Sabtu, 15 Desember 2007

BAB II. PENDEKATAN HYGIENE DALAM PEMOTONGAN HEWAN KURBAN

BAB II.

PENDEKATAN HYGIENE DALAM PEMOTONGAN HEWAN KURBAN

I. HACCP

Dalam industri pangan telah diterapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai system jaminan keamanan pangan. HACCP atau analisa bahaya dan pengendalian titik kritis adalah suatu pendekatan ilmiah, rasional dan sistematik untuk mengidentifikasi,mengevaluasi dan mengendalikan bahaya selama produksi, processing, manufacturing, penyiapan dan penggunaan.

HACCP dalam industri pangan harus melibatkan dan mendapat komitmen dari seluruh sumber daya manusia di industri tersebut. Komitmen dari top management sampai pada tingkat bawah.

Konsep HACCP awalnya digunakan dalam produksi dan penelitian pangan bagi program ruang angkasa Amerika Serikat tahun 1959. Sejak tahun 1985 HACCP direkomendasikan oleh National Academic Science (NAS) untuk industri pangan.

Saat ini penerapan HACCP dalam rangka keamanan pangan telah menjadi kebutuhan yang esensial. Beberapa alasan diantaranya adalah :

  1. Penyakit yang ditularkan oleh bahan pangan (foodborne disease) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia, dan merupakan salah satu penyebab kerugian ekonomi.
  1. Meningkatnya insiden beberapa penyakit yang ditularkan bahan pangan, misalnya salmonellosis di beberapa negara.
  1. Industrialisasi dan produksi masal pangan yang dapat mengakibatkan peningkatan resiko kontaminasi pada makanan serta besarnya jumlah konsumen yang dapat terkena wabah penyakit..

II. MANFAAT HACCP

System HACCP dapat mengatasi beberapa keterbatasan dari pendekatan tradisional terhadap pengawasan keamanan pangan. Sistem ini juga memiliki potensi untuk mengidentifikasi semua bahaya-bahaya yang mungkin muncul, walaupun belum pernah ada sebelumnya.

Keberhasilan dan efektivitas dalam penerapan system HACCP terletak pada pendidikan dan pelatihan tim HACCP dan seluruh personal yang terlibat dalam rantai produksi pangan. Hal-hal yang perlu diketahui oleh setiap orang dalam industri pangan tersebut adalah :

  1. Apakah HACCP itu?
  2. Mengapa HACCP dibutuhkan serta keuntungan penerapan HACCP ?
  3. Siapa yang akan dilibatkan dalam pelatihan dan tingkat pelatihan yang dibutuhkan ?
  4. Perubahan apa yang diharapkan dibandingkan dengan cara yang sampai saat ini dipakai ?
  5. Kontrol titik kristis merupakan hal yang pasti, tidak bisa ditawar-tawar.
  6. Komitmen manajemen terhadap keamanan produk pangan yang dihasilkan sangatlah penting.
  7. Pemahaman terhadap Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) dan Standar Operasional Prosedur Sanitasi (SSOP) merupakan prasarat terhadap efektivitas system ini. CPMB umumnya berkaitan dengan praktek-praktek pemeliharaan bangunan sehubungan dengan keamanan dan mutu makanan yang meliputi perlengkapan umum, bangunan dan fasilitas, peralatan dan pengendalian produksi dan proses.

III. ADAPTASI HACCP DALAM PEMOTONGAN HEWAN KURBAN

Penerapan sepenuhnya system HACCP dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban mungkin suatu hal yang mustahil untuk kondisi saat sekarang. Namun penerapan secara parsial disesuaikan dengan kondisi di lapangan masih sangat mungkin untuk diterapkan. Tidak saja bagi proses pemotongan hewan kurban yang hanya setahun sekali, system ini juga sangat cocok diadaptasikan dalam industri katering yang merupakan industri rumahan.

Kasus-kasus keracunan makanan dari katering masih sering terjadi. Penyebabnya terutama karena kontaminasi mikroba yang berasal dari manusia. Ini menunjukkan buruknya hygiene dalam proses produksi katering .

Adaptasi HACCP dalam pemotongan hewan kurban mungkin akan banyak mengabaikan syarat-syarat GMP karena pemotongan dilakukan dilapangan. Juga sedikit mengabaikan prinsip-prinsip HACCP dalam penetapan prosedur verivikasi dan penetapan prosdur system pencatatan dan dokumen (prinsip 6 & 7 sistem HACCP).

Prinsip-prinsip HACCP menurut Codex Alimentarius Commision (1997) adalah sebagai berikut :

Prinsip 1 : Analisa bahaya.

Prinsip 2 : Identifikasi Kontrol Titik Kritis

( Critical Control Point = CCP)

Prinsip 3 : Penetapan batas kritis

Prinsip 4 : Penetapan prosedur pemantauan CCP

Prinsip 5 : Penetapan tindakan koreksi

Prinsip 6 : Penetapan prosedur verifikasi

Prinsip 7 : Penetapan prosedur system pencatatan dan dokumentasi.

Dan yang peling penting adalah komitmen seluruh personel terutama panitia pelaksana pemotongan hewan kurban dalam mengadaptasi system ini. Sosialisasi dan pelatihan secara rutin dan terus menerus sangat penting bagi keberhasilan penerapan system ini. Pelatihan tidak hanya bagi penerapan adaptasi system HACCP namun juga bagi tenaga kader kesehatan hewan kurban. Kader-kader inilah yang nantinya melaksanakan pemeriksaan kesehatan hewan kurban (ante mortem dan pos mortem) dengan mengisi formulir yang telah disediakan. Hasilnya dikonsultasikan dengan dokter hewan penganggungjawab di wilayah tersebut.

IV. PELATIHAN

Pelatihan kader kesehatan hewan dan adaptasi HACCP untuk pemotongan hewan kurban dilakukan secara terpadu. Artinya hanya perlu membentuk satu tim ( 3 – 5 orang ) untuk kedua hal tersebut. Peserta pelatihan sebagai calon kader haruslah berbadan sehat (tidak mengidap penyakit menular sepaerti tbc, hepatitis dll), tidak buta warna dan tidak cacat, dengan pendidikan minimal setingkat SMU. Materi pelatihan meliputi teori pemeriksaan kesehatan hewan kurban, teori adaptasi HACCP untuk pemotongan hewan kurban serta praktek pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Setiap periode pelatihan diikuti 5 – 10 tim dengan masa pelatihan selama 3 hari, 2 hari untuk pemahaman teori dan sehari praktek di lapangan

Tujuan pelatihan bagi kader adalah :

  1. Membentuk kader kesehatan hewan kurban disetiap kelompok masyarakat ( RT, RW, masjid atau unit-unit pemotongan hewan ).
  1. Mempersiapkan kader dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan teknik dan cara pemeriksaan kesehatan hewan kurban secara umum (dasar).
  1. Membantu menyeleksi dan menyiapkan hewan kurban yang layak untuk dipotong dari sisi kesehatan hewan.
  1. Membantu menyeleksi dan menyiapkan daging hewan kurban yang aman, sehat dan layak untuk dibagikan dan dikonsumsi masyarakat

.

  1. Menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa kesehatan hewan dan bahan pangan asal hewan (khususnya daging) sangat penting artinya bagi kesehatan manusia.

Dokter hewan yang terlibat dalam pemotongan hewan kurban hendaknya juga mendapatkan pelatihan khusus untuk menyamakan persepsi, prosedur operasional standar, system pelaporan serta hal-hal praktis yang mungkin terjadi di lapangan.

Sosialisasi penerapan kedua hal tersebut dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihan. Sosialisasi ditujukan kepada beberapa tempat (masjid ) yang memiliki jumlah hewan kurban terbanyak dengan mengundang seluruh panitia kurban dan takmir masjid setempat.

-o0o-

BAB I. PENERAPAN SISTEM KADER DALAM PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN KURBAN

BAB I.

PENERAPAN SISTEM KADER DALAM PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN KURBAN.

I. POTENSI BAHAYA HEWAN KURBAN.

Tak banyak perubahan dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di negeri ini. Panitia menerima hewan kurban, memotong dan membagikan kepada masyarakat. Pemotongan dilakukan ditempat dengan sarana dan prasarana apa adanya. Pelaksanaannya pun mengikuti aturan yang telah berlangsung secara turun temurun .

Pemerintah sendiri sepertinya kurang bersemangat ikut campur mengatur tata cara pemotonga hewan kurban. Seakan semuanya diserahkan begitu saja kepada masyarakat Padahal daging sebagai produk akhir pemotongan hewan kurban seperti pisau bermata dua. Satu sisi memiliki peranan penting dalam upaya meningkatkan pemenuhan gizi masyarakat. Disisi lain daging sangat berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan karena potensi pencemaran secara biologi, terutama dalam menyebarkan penyakit yang menular dari hewan ke manusia (zoonosis) .

Tingkat pemahaman masyarakat tentang penyakit-penyakit zoonosis masih relatif rendah. Terbukti ketika isu anthrax mencuat menjelang Idul Adha tahun 2001 yang lalu kepanikan massa tampak begitu jelas. Penjualan daging langsung terpengaruh. Pemberitaan mass media juga turut gencar dan kadang membingungkan. Demikian juga ketika tahun 2005 muncul kasus flu burung. Dimana-mana orang takut mengkonsumsi ayam dan telur, karena enyakit zoonosis dipahami secara sepotong-sepotong.

Demikian pula dengan pemahaman tentang hygiene makanan ( food hygiene ) yang didalamnya terdapat juga hygiene daging ( meat hygiene ). Kasus-kasus keracunan makanan yang terjadi akibat produk katering juga masih sering terjadi. Yang terakhir sedang banyak dibicarakan adanya formalin dalam produk makanan. Formalin yang lazim dipakai sebagai pengawet mayat digunakan untuk bahan pengawet makanan. Demikian juga pemakaian zat pewarna tekstil untuk pewarna makanan . Dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa.

Momen Idul Adha sangat potensial menimbulkan bahaya biologis karena kegiatan ini melibatkan massa yang sangat besar dalam waktu yang hampir bersamaan. Tentu akan sangat merepotkan dan kurang efektif jika kontrol terhadap potensi bahaya hewan kurban hanya mengandalkan peran pemerintah. Apalagi dalam masa otonomi daerah sekarang ini , beberapa daerah tingkat I dan tingkat II telah menghilangkan atau melebur Dinas Peternakan sebagai instansi teknis yang paling bertanggungjawab dalam kontrol kesehatan masyarakat veteriner.

II. MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DALAM SISTEM KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER (KESMAVET)

Kesehatan masyarakat vetriner (kesmavet) adalah tinjauan kesehatan dalam suatu kelompok masyarakat yang melibatkan aspek kesehatan hewan, terutama hewan konsumsi ( ternak dan produknya : daging, telur dan susu ). Peran aktif masyarakat tentu akan sangat berarti dalam upaya meningkatkan status kesmavet, disamping tentu peran pemerintah sebagai regulator dan peran dokter hewan sebagai professional dibidang ini.

Kesmavet memang kurang populer, karenanya banyak yang kurang memahami arti penting kesmavet di masyarakat. Untuk itu usaha melibatkan peran aktif masyarakat akan sangat berarti bagi usaha-usaha peningkatan kesehatan masyarakat veteriner.

Dalam system pemotongan hewan kurban , hampir tidak ada upaya pembinaan yang sistemik dan terencana baik dari pemerintah maupun dari kalangan professional (dokter hewan yang dalam hal ini diwakili oleh organisasi profesi PDHI ). Pemberdayaan masyarakat berupa usaha meningkatkan pemahaman masyarakat akan arti penting system kesmavet dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Meningkatkan pemahaman tentang penyakit zoonosis serta penyadaran tentang sanitasi dan hygiene dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban.

Upaya tersebut dapat dilaksanakan melalui dua jalur yaitu jalur formal dan jalur informal :

1. Jalur formal , melibatkan perangkat pemerintah di tingkat kelurahan (desa), Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Koordinasi dilakukan ditingkat kelurahan atau kecamatan.

2. Jalur informal, melalui system koordinasi masjid dengan melibatkan pengurus (takmir) dan remaja masid.

Kedua jalur tersebut diharapkan dapat menyebar secara massif ketengah masyarakat.

III. KONSEP SISTEM KADER

Pemikiran ini diilhami oleh keberhasilan system kader dalam POSYANDU (pos pelayanan terpadu) yang digulirkan Departemen Kesehatan di era Orde Baru. Yaitu dengan membentuk kader-kader kesehatan di tingkat RT-RW yang tergabung dalam kelompok posyandu. Bidan dan dokter Puskesmas terlibat aktif sebagai pembina. Pelaksanaan kegiatan seperti penimbangan balita, peningkatan gizi balita, pemberian vitamin A ataupun immunisasi sepenuhnya dilaksanakan oleh para kader, tentu dibawah pengawasan bidan dan dokter setempat.

Konsep tersebut dapat diadaptasikan kedalam system pemeriksaan kesehatan hewan kurban. Karena pelaksanaan pemotongan hewan kurban akan terus berlangsung secara rutin setiap tahun di hampir seluruh pelosok tanah air ( sebagai warga mayoritas pemeluk Islam). Setiap tahun dilaksanakan pelatihan bagi kader-kader yang lama dan baru. Evaluasi dan upaya peningkatan system pelaksanaan juga rutin dilakukan setiap tahun.

Pembentukan kader-kader ditingkat RT-RW atau di masjid-masjid melibatkan pengurus dan remaja masjid. Pembinanya adalah dokter hewan pemerintah dan melibatkan dokter hewan non pemerintah sebagai relawan. Untuk itu koordinasi dengan organisasi profesi PDHI sangat diperlukan. Dokter hewan non pemerintah selama ini perannya terpinggirkan dalam system pemotongan hewan kurban.

Sebagai langkah awal, pembentukan kader hanya diterapkan diwilayah-wilayah tertentu dengan jumlah hewan kurban cukup banyak. Cara ini dilakukan sebagai proyek percontohan untuk wilayah-wilayah sekitarnya.

IV. PERAN PEMERINTAH.

Diharapkan peran pemerintah lebih besar lagi dalam menangani masalah pemotongan hewan kurban. Dalam lingkup bisnis, pemerintah telah menerapkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) bagi usaha-usaha bidang pengolahan daging seperti Rumah Potong Hewan (RPH), Rumah Potong Unggas (RPU), tempat pemrosesan daging, usaha pengimpor, pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya.

NKV diterapkan sebagai jaminan keamanan dan perlindungan masyarakat untuk mendapatkan produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Prinsip umum terhadap penerapan penilaian NKV menuntut kebersihan bangunan, peralatan termasuk kendaraan operasional melalui program sanitasi yang dilakukan secara efektif dan teratur sehingga dapat menghilangkan sisa-sisa makanan / bahan baku serta kotoran lain yang mungkin mengandung bahan penyebab keracunan makanan atau mikroorganisme pembusuk yang dapat menjadi sumber kontaminasi makanan yang diproduksi. Dari sudut pandang sanitasi, maka bersih dapat diartikan sebagai bersih secara kimia, bersih secara fisik dan bersih secara mikrobiologi.

Mungkin suatu saat akan diterapkan NKV khusus terhadap tempat-tempat pemotongan hewan kurban. Tentu dengan melakukan pembinaan dan bimbingan secara aktif di masyarakat.. Dengan demikian masyarakat mendapat kepastian jaminan bahwa daging yang diperoleh dari pemotongan hewan kurban adalah produk yang benar-benar ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).

-o0o-

PENGANTAR

Saat kasus anthrax mencuat di daerah Bogor tahun 2001 menjelang Hari Raya Idul Adha, media massa begitu gencar memberitakannya. Siapa saja diwawancarai reporter dan wartawan. Siapa saja bisa bicara tentang apa saja mengenai anthrax di koran dan televisi. Selama kurang lebih 2 minggu berturut-turut berita anthrax jadi semakin ramai namun juga makin simpang siur.

Penyebabnya tak lain karena nara sumber dan sumber berita yang disampaikan media masa kurang tepat Sementara pihak-pihak yang berkepentingan seakan hilang entah kemana..Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi yang terkait langsung dengan masalah ini tak kunjung bicara untuk menjernihkan masalah. Demikian juga Departemen Pertanian lewat Direktur Jendral Kesehatan Hewannya tak juga muncul di televisi. Justru Departemen Kesehatan yang mendominasi berita dan diuber-uber wartawan serta memberikan statement yang mestinya bukan kewenangannya.

Baru dihari-hari terakhir mendekati Idul Adha, Dinas Peternakan Bogor dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB muncul di televisi memberikan pernyataan untuk menjernihkan masalah. Tak kurang FKH IPB pada hari H menurunkan para mahasiswanya kewilayah DKI untuk ikut memantau kesehatan hewan kurban, bekerjasama dengan Dinas Peternakan DKI

Penulis sebagai dokter hewan praktek, saat itu turut kewalahan menerima permintaan pemeriksaan kesehatan hewan kurban oleh para pedagang dan panitia kurban. Juga permintaan seminar, ceramah dan sejenisnya di berbagai tempat. Penulis, sebagai dokter hewan non pemerintah, pernah menawarkan diri untuk ikut berpartisipasi sebagai tenaka sukarela dalam memantau kesehatan hewan kurban. Namun tawaran tersebut tidak mendapatkan respon dari pihak pemerintah sebagai pemegang wewenang menyangkut hewan kurban.

Pemotongan hewan kurban menjadi momen yang menegangkan waktu itu. Namun keadaan berudah begitu drastis pada pelaksanaan kurban di tahun-tahun berikutnya. Dan pelaksanaan pemotongan hewan kurbanpun kembali seperti yang dulu, apa adanya. Masyarakat begitu mudah melupakan peristiwa yang terjadi ditahun sebelumnya. Padahal di daerah-daerah endemis, anthrax akan selalu muncul setiap saat sepanjang tahun.

Kondisi inilah yang mendorong penulis untuk aktif berperan dalam upaya memperbaiki system pemotongan hewan kurban . Meskipun secara riil penulis tidak memiliki akses kedalam proses pemotongan hewan kurban. Langkah-langkah sosialisasi terus penulis lakukan dengan mendekati pihak kelurahan disekitar wilayah Cibubur. Brosur-brosur secara rutin dicetak dan disebarkan. Proposal pelatihan kader kesehatan hewan kurban telah beberapa kali diajukan ke tingkat kelurahan namun tidak mendapat tanggapan memadai.

Baru pada Idul Adha tahun 2006 konsep ini dilemparkan kepada panitia kurban Masjid Nurul Muttaqien - Permata Puri 2 Cimanggis dan mendapatkan respon yang baik. Kemudian konsep ini diujicobakan untuk pertamakalinya di masjid tersebut

Harapan penulis dengan diterbitkannya buku ini, konsep tentang pembentukan kader kesehatan hewan dan adaptasi system HACCP kedalam proses pemotongan hewan kurban dapat ditangkap oleh masyarakat luas. Penulis sangat mengharapkan komentar, saran dan kritik untuk memperbaiki isi buku ini serta untuk menjadikannya lebih realistis dan praktis diterapkan dilapangan. Karena penulis menyadari keterbatasan kemampuan, keterbatasan pengalaman dan keterbatasan ilmu. Semoga buku ini memberi manfaat kepada masyarakat luas. Terimakasih.

Cimanggis, 1 Januari 2006

TERIMAKASIH…………………………….

Yani, Yasmin & Rossa yang merelakan suasananya terganggu.

Drh. Dhiah Rahmawati sebagai teman diskusi.

Adin & Heri yang turut sibuk membantu.

Indra Kusuma atas support dan foto-fotonya

Akhsan & Tatang yang mengilhami penulisan buku.

Rekan-rekan panitia kurban 1426 H di Permata Puri 2 – Cimanggis, Depok yang menerima konsep ini untuk diujicobakan